Sudah bertahun-tahun lamanya saya belum kesampaian mengunjungi Jogja lagi. Terakhir, saya menyambangi kota itu sekitar pertengahan tahun 2008, saat kakak kandung saya yang nomor dua masih bertempat tinggal di kota keraton bersama keluarga kecilnya. Jogja, atau disebut juga Yogyakarta, pastinya sudah banyak mengalami perubahan semenjak sembilan tahun terakhir. Apalagi sejak film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) sekuel keduanya menghadirkan suasana kota tersebut dengan berbagai bentuk kesenian dan kuliner baru.

Kesenian dan kuliner baru yang sedang digemari kawula muda Jogja antara lain pertunjukan boneka Papermoon dan Sate Klathak di sepanjang Jalan Malioboro. Rencananya, saya akan berkunjung ke Jogja selama liburan ‘hari kejepit’ yang jatuh tanggal 12 hingga 14 Mei 2017 nanti. Pada tanggal itu pula komunitas yang saya ikuti mengadakan acara Indonesia Community Day (disingkat ICD) di Jogja, tepatnya di Plasa Pasar Ngasem. Jadi, selain mengikuti acara tersebut, selama berada di Jogja saya ingin menyempatkan diri untuk menikmati kesenian dan kuliner baru khas anak muda Jogja yang saya sebutkan tadi.
Para Pengisi Acara ICD
Acara ICD akan berlangsung selama satu hari penuh pada tanggal 13 Mei, yang akan dimeriahkan dengan berbagai kegiatan mulai dari jam 10 pagi hingga pukul 10 malam. Dibuka dengan sambutan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X, ICD akan menghadirkan berbagai komunitas yang ada di seluruh Indonesia. Komunitas penyelenggaranya, yaitu Kompasiana, sudah pasti ikut. Para Kompasianer (sebutan untuk anggota Kompasiana, termasuk saya) juga sangat dianjurkan untuk mengikuti acara ini agar dapat menjalin networking baru dengan Kompasianer lainnya yang tersebar di berbagai penjuru kota di Indonesia.

Yang menarik, beberapa pengisi acara ICD merupakan para seniman yang juga pernah tampil dalam film AADC 2 dan sudah sejak lama saya idamkan untuk bisa menontonnya secara langsung. Sebut saja ada Papermoon Theater dan Jogja Hip Hop Foundation. Selain itu ada workshop bagi para calon film maker masa depan yang digawangi Paguyuban Film Maker Jogja. Kabarnya, putra bungsu Presiden Jokowi, Mas Kaesang Pangarep juga akan turut hadir sebagai pembicara untuk salah satu dari rangkaian acara yang sudah dijadwalkan.
Ada Apa di Pasar Ngasem
Pastinya, saya akan nangkring seharian di Pasar Ngasem Jogja untuk mengikuti jalannya seluruh acara, sekaligus menambah ilmu dan pertemanan baru. Apalagi, menurut literatur yang saya baca di internet, di Pasar Ngasem ini pengunjung juga dapat menikmati beraneka ragam kuliner khas Jogja seperti Sate Klathak Pak Bari, Bakmi Mbah Mo, Gudeg Manggar Warung Ndeso dan Sego Abang Lombok Ijo Gunungkidul (hhm.. kayak apa ya rasanya?).

Selain berkulineran ria, saya juga sudah lama banget kepingin membeli kain lurik yang berkualitas dengan harga miring. Terlebih lagi sejak Lulu Lutfi Labibi, disainer asal Jogja yang memenangkan Lomba Perancang Mode 2011 mengenalkan kain lurik bergaya kontemporer ke panggung mode nasional, saya semakin penasaran untuk mengenakannya. Soalnya, dulu kain lurik kesannya lusuh dan tidak menarik, namun di tangan Lulu menjadi terkesan modis dan modern. Siapa tahu saya bisa sekalian mampir ke butiknya Lutfi di Kotagede dan memintanya untuk dibuatkan disain baju (haha, ngarep :p). Anyway, di Pasar Ngasem kabarnya pengunjung bisa membeli kain lurik dengan harga kurang dari Rp 100ribu per potongnya.
Red Doorz, Jaminan Kualitas Penginapan Setara Low Budget Hotel
Ngomong-ngomong tentang acara ICD, berhubung penginapan harus cari sendiri, saya kira dengan pilihan akomodasi penginapan yang dikelola Red Doorz akan meringankan beban ongkos. Untungnya transportasi dari Jakarta ke Jogja sih sudah ditanggung dengan naik bus ramai-ramai bersama anggota komunitas yang saya ikuti. Red Doorz merupakan jaringan penginapan berbiaya rendah yang tersebar di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dan berkantor pusat di Singapura.

Ciri khas penginapan yang dikelola Red Doorz adalah memanfaatkan guest house atau hostel yang sudah ada dan mengajak para pemiliknya untuk bergabung dalam jaringan Red Doorz agar bisa menjangkau konsumen yang lebih luas dengan jaminan kualitas setara low budget hotel. Fasilitas yang ditawarkan Red Doorz sudah distandarisasi untuk setiap guest house dan hostel yang masuk ke jaringan mereka, yaitu free wifi, tivi kabel, air mineral, kasur dengan kain seprai yang bersih, toilet yang juga bersih, dan peralatan mandi. Selama masa promosi, tarifnya hanya Rp 125.000,-/malam nett untuk pemesanan yang dilakukan dari tanggal 25 hingga 27 April 2017, sementara periode menginapnya mulai tanggal 1 Mei dan seterusnya.

Nah, untuk jaringan Red Doorz yang saya pilih selama berkunjung ke Jogja, saya tertarik dengan guest house yang terletak di Jalan Cik Ditiro, tidak jauh dari Jalan Sagan, distrik Gondokusuman. Selain dekorasi penginapannya yang terlihat klasik dan elegan, bergaya rumah tua klasik jaman dulu dengan dominasi kayu dan warna coklat, letaknya juga strategis. Jalan Sagan sendiri merupakan lokasi keberadaan Pusat Kebudayaan Prancis, sebuah tempat yang selain menyelenggarakan kursus bahasa Prancis, juga sering mengadakan pameran dan pertunjukan seni. Lokasinya juga tidak jauh dari Jalan Malioboro (berjarak 2,6 km) dan Keraton Jogja (4,3 km) yang dapat dicapai dengan gojek dan motor. Menuju ke Pasar Ngasem sendiri, kalau saya lihat di Google Map, membutuhkan waktu sekitar enam belas menit dengan kendaraan mobil.
Yah, semoga saja keinginan saya mengikuti acara ICD di Jogja bisa terlaksana, dan saya dapat bermalam di jaringan penginapan yang dikelola Red Doorz di Jogja. Inilah Jogja dengan wajah barunya. Jogja, I’m coming! Nantikan tulisan saya tentang Jogja, ya ;). ***
One Comment Add yours