
Saya kira, makam dijadikan tempat wisata hanya ada di kota Paris, Prancis. Saya juga belum pernah berkunjung ke Père Lachaise, sih, walaupun pernah menyambangi kota itu beberapa kali. Di sana katanya dikuburkan sastrawan, musisi, seniman dan tokoh-tokoh yang menorehkan namanya dalam sejarah dunia seperti Chopin, Oscar Wilde, Balzac. Ada juga makam di Jakarta yang katanya juga dijadikan tempat wisata, yaitu Museum Prasasti (dan saya pun belum pernah berkunjung ke sana, menyedihkan yak 😝). Soalnya saya pikir saat itu buat apa berwisata ke kuburan, malah bikin bulu kuduk merinding. Entah mungkin saya juga termakan cerita-cerita horor tentang imej kuburan yang selalu jelek.

Namun, berkunjung ke Mausoleum pernah saya lakukan yaitu ke makamnya bapak pendiri Turki modern, Kemal Pasha, di kota Ankara. Itu juga karena saya penasaran banget sama sejarahnya Turki ketika masih getol-getolnya belajar sejarah (sekarang juga masih, sih). Mausoleum itu sendiri artinya rumah makam, penandanya berupa sebuah bangunan besar seperti rumah, lengkap dengan atapnya, dan biasanya dibuat untuk memakamkan satu keluarga. Selain di Ankara, mausoleum lainnya yang ada di dunia adalah Taj Mahal di India, yang dibuat untuk permaisurinya Shah Jahan dari dinasti Mughal, dan mausoleum Lenin di Rusia. Nah kalau ke India saya memang belum pernah pergi ke sana 😃.

Dan, saya baru tahu bahwa Jakarta juga punya mausoleum yang nggak kalah kerennya, loh. Berlokasi di Taman Pemakaman Umum (TPU) Petamburan, mausoleum yang megah dengan arsitektur bergaya art-deco ini ternyata telah berdiri sejak tahun 1927. Secara fisik, bentuk bangunan mausoleum tersebut mengingatkan saya pada bangunan-bangunan bergaya Renaissans di kota-kota di Italia, dengan pilar-pilar dan kubah dari batu pualam hitam. Apalagi ada patung malaikat yang dibuat menyerupai dewi Yunani-Romawi dengan sayap dan gaun bergaya Helenisme berdiri di antara dua nisannya.

Mungkin Anda mengira bahwa yang dikubur di dalamnya adalah seorang petinggi kompeni Belanda pada masa penjajahan Hindia Belanda. Ternyata, asumsi tersebut keliru, he he. Yang bersemayam di dalam mausoleum tersebut adalah Oen Giok Khouw, seorang pebisnis perkebunan tebu di daerah Tambun, Bekasi, dan filantropis keturunan Tionghoa dari dinasti keluarga Khouw van Tamboen yang kaya raya dan hidup di Batavia pada awal abad ke-20.

Meskipun OG Khouw keturunan Tionghoa, ia tidak bisa berbahasa Mandarin dan lebih sering bermukim di Eropa. Menurut Bapak Adjie, ketua komunitas Love Our Heritage yang mendampingi kami para peserta tur Jakarta Food Traveler, pembangunan mausoleum yang dirancang oleh seorang arsitek dan kontraktor asal Italia bernama G. Racina menghabiskan dana sekitar 250 ribu dolar Amerika Serikat, atau 3 milyar Rupiah! Wow, angka yang fantastis sekali, bahkan untuk zaman sekarang bisa untuk beli kavling apartemen mewah, he he… Katanya sih biaya tersebut melebihi pembangunan makam untuk jutawan Amerika Serikat, John D. Rockefeller (pernah dengar Rockefeller Tower di New York? Saya sih juga belum pernah ke sana😃).

OG Khouw yang mendapat kewarganegaraan Belanda meninggal di Swis pada 1 Juli 1927, namun istrinya, Lim Sha Nio, membawa pulang abu hasil kremasi ke Indonesia untuk dikuburkan di mausoleum, tepatnya di dalam bunker. Bunker atau ruang bawah tanah yang tepat berada di bawah nisan, tidak hanya menyimpan abu OG Khouw beserta istri yang meninggal pada tahun 1957. Bunker yang dibuat dari marmer putih ini juga menyimpan harta benda peninggalan dan kesayangan mereka berdua, yaitu piano. Selain itu ada dua buah patung wajah Khouw dan Lim yang menempel di belakang dinding marmer tersebut, sehingga dapat membantu para pengunjung mereka-reka seperti apa rupa mereka berhubung foto keduanya tidak ada.

Yang mengharukan, saking cintanya pada Indonesia, OG Khouw memilih dikuburkan di Indonesia, walaupun setelah dinaturalisasi oleh pemerintah Belanda dan mempunyai harta yang bisa diwariskan hingga tujuh turunan (saking kayanya) tentunya mempunyai priviledge untuk dimakamkan di Eropa. Sayangnya OG Khouw dan istri tidak mempunyai keturunan, sehingga memang mausoleum ini sempat terbengkalai dan tidak terawat dengan baik. Bahkan, makam yang indah ini juga pernah menjadi tempat berasyik-masyuk pasangan ABG, begitu cerita Pak Adjie ketika hendak membuka ruang bawah tanah makam.

Oleh karena itu Pak Adjie berinisiatif membangun komunitas Love Our Heritage dengan misi menjadikan mausoleum sebagai salah satu tujuan wisata sejarah di Indonesia. Komunitas ini pernah melakukan program ‘Bakti Royong’ dalam rangka membersihkan mausoleum dari sampah, debu dan genangan lumpur pada bulan Mei tahun 2010. Selain itu, berhubung pintu menuju bunker dicuri orang, komunitas ini juga memasang pintu bunker yang baru dan lebih kokoh.

Selain mausoleum, yang menarik bagi saya di TPU Petamburan ini adalah adanya tiga buah makam warga keturunan Yahudi, lengkap dengan simbol Bintang David. Sayangnya tidak banyak yang bisa diceritakan mengenai makam Yahudi ini, selain bahwa dulu di Jakarta pernah eksis sebuah komunitas Yahudi yang hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat muslim keturunan Arab di daerah Juanda, Jakarta, sebagai sesame pedagang. Kalau menurut literatur yang saya baca di internet, komunitas Yahudi di Jakarta pada masa itu tidak perlu menutup-nutupi identitas mereka ketika berkomunikasi dengan warga sekitar. Mereka juga dapat berkomunikasi dalam bahasa Arab. Namun, sejak tahun 1952 sentimen anti-Yahudi mulai muncul di Indonesia yang menyebabkan komunitas ini semakin lama semakin surut keberadaannya.
(Baca juga cerita saya tentang “Bergaul” dengan Yahudi).

Ada juga nisan khas Jepang yang kata Pak Adjie merupakan makam dari Ayako Kobayashi, seorang warga biasa asal Jepang yang bermukim di Indonesia. Entah tidak diketahui siapa si Ayako ini, yang jelas sih bukan nama pemeran serial Oshin yang pernah ngetop di sepanjang akhir tahun 1980-an 😃. Selain nisan Jepang, ada juga sebuah rumah khusus penyimpanan abu warga Jepang yang dikelola oleh Kedutaan Besar Jepang di TPU Petamburan ini.

Dari wisata makam ini saya jadi punya gambaran lebih dalam tentang kemajemukan masyarakat Indonesia di masa lampau. Bahwa masyarakat keturunan Tionghoa, Yahudi, dan Jepang pernah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia dan hidup berdampingan dengan rukun. Saya tidak tahu mengapa sekarang, pada saat saya membuat tulisan ini, situasi itu nyaris tidak bisa saya temukan lagi di ibukota. Bung Karno pernah mengatakan, bahwa kemajemukan bangsa Indonesia ini bisa membawa ke dua hal: persatuan dan kesatuan yang indah dan kokoh, atau sebaliknya, perpecahan. Kita sendiri yang bisa menjawabnya. ***
Wooow… Kereeen.. dan bikin penasaran isi dalam.makamnya lebih jelasnya gimana
iya, megah banget dan bikin kagum karena Indonesia pun ternyata punya mausoleum yang punya nilai historis.
Sering wisata makam waktu kuliah hehehe … Komplek pemakaman yg dekat kokas jg menarik. Gedungnya perpaduan tiga atau empat agama gitu. Museum prasasti agak berantakan ya, banyak yg tersisa nisan doang, tp soe hok gie dikubur di situ siy
hoo.. makam prasasti beda dengan makam yang di kokas ya? aku kirain sama 😀
Wah keren juga ya ada musoleum di Jakarta…ada makam Yahudi juga..
Iya, berkat ikutan jalan-jalan sama komunitas Jakarta Food Traveler, Mba 😊